SIKAP KEDEWASAAN DALAM MENYIKAPI / PERBEDAAN
Oleh : Teman – teman HMI Bina Bangsa Banten
M
|
arilah
kita semua bertaqwa dalam arti menumbuhkan rasa takut kita kepada Allah Swt,
dalam segala tingkah, situasi dan kondisi apapun, juga dimanapun kita berada.
Sebab dengan berbekal ketaqwaan, Allah akan senantiasa membimbing kita dan
mencarikan kita solusi/jalan keluar bagi setiap problem dan kesulitan hidup
yang kita hadapi. Allah juga akan menjadikan segala urusan yang rumit menjadi
gampang, dan segala
perkara yang sempit menjadi longgar.
Dan ketahuilah bahwa untuk memperoleh semuanya itu kuncinya adalah tetap berada pada diri kita sendiri. sebagai mahluk sosial kitapun menyadari bahwa bagaimanapun kita tidak pernah ada yang terbebas sama sekali dan tidak tersentuh oleh problematika kehidupan. Karena telah menjadi keniscayaan kita harus berhubungan dengan semua pihak yang tentunya syarat dengan perbedaan. Lalu harus bagaimanakah kita menyikapi perbedaan-perbedaan itu ?
Dan ketahuilah bahwa untuk memperoleh semuanya itu kuncinya adalah tetap berada pada diri kita sendiri. sebagai mahluk sosial kitapun menyadari bahwa bagaimanapun kita tidak pernah ada yang terbebas sama sekali dan tidak tersentuh oleh problematika kehidupan. Karena telah menjadi keniscayaan kita harus berhubungan dengan semua pihak yang tentunya syarat dengan perbedaan. Lalu harus bagaimanakah kita menyikapi perbedaan-perbedaan itu ?
“Persatuan
dan tolong menolong” merupakan satu inti ajaran terpenting dari agama Islam
yang suci, sedangkan “perselisihan, perpisahan dan bercerai berai” adalah sikap
buruk yang dibenci agama. Allah Swt berfirman :
Artinya
: “Tolong menolonglah kamu sekalian semua dalam hal kebaikan dan taqwa dan
janganlah kamu tolong menolong atas pekerjaan dosa dan permusuhan”
Dalam kaitan ini pula, Rasulullah Saw bersabda :
Dalam kaitan ini pula, Rasulullah Saw bersabda :
Artinya
: Dari sahabat Anas RA sesungguhnya nabi Muhammad Saw bersabda : “Janganlah
kalian semua saling benci-membenci, menghasut, saling bertolak belakang, dan
janganlah pula saling memutuskan (tali persaudaraan). Jadilah kalian semua
hamba Allah yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim menyateru /
mendiamkan saudaranya hingga melebihi tiga hari”.
Waktu
kita yang jumlahnya 24 jam dalam sehari semalam, hampir semuanya habis untuk
kesibukan urusan kepentingan kita sendiri. Pada umumnya, kitapun tidak cukup
punya waktu untuk mengurus persoalan-persoalan yang tidak secara langsung ada
kaitannya dengan kepentingan diri kita sendiri. Sehingga ketika muncul masalah
agama, entah karena terdorong oleh semangat dan kepedulian, kadangkala bahkan
seringkali kita segera menanggapi persoalan tersebut dengan tanpa menyempatkan
diri untuk sekedar menengok sejauh mana tuntutan agama mereka sendiri, mengenai
bagaimana seharusnya ia menanggapi persoalan itu.
Terlebih lagi dalam menanggapi persoalan yang menyangkut agama, kalaupun ada “konsultasi” sebelumnya, paling hanya kepada akal pikiran kita sendiri dan emosi atau i’tiqad kelompok sendiri. hingga jarang sekali yang sampai kepada Allah Ta’ala, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama.
Terlebih lagi dalam menanggapi persoalan yang menyangkut agama, kalaupun ada “konsultasi” sebelumnya, paling hanya kepada akal pikiran kita sendiri dan emosi atau i’tiqad kelompok sendiri. hingga jarang sekali yang sampai kepada Allah Ta’ala, untuk dan demi siapa mereka hidup dan beragama.
Ambil
saja contoh-contoh persoalan-persoalan yang menyangkut ukhuwah Islamiyah dan
Mu’amalah bainan Nas; kalaupun merujuk kepada firman Allah Ta’ala atau rasul –
Nya, biasanya terlebih dahulu kita kenakan “kaca mata hitam – putih” kita
sendiri atau kelompok kita sendiri. Kita benci dahulu kepada teman kita. Lalu
kita cari dalil-dalil yang bisa mengaitkannya dengan hal-hal yang tidak disukai
oleh Allah ; dengan demikian akan mudah kita mengambil keputusan :”saudara kita
itu salah”; karenanya perlu kita ganyang. Kita curiga dulu terhadap kelompok,
setelah itu dengan mudahnya kita mencari Hujjah atau argumentasi untuk membabat
setiap gagasan, ataubahkan sekedar pendapat dari
kelompok tersebut.
Mereka menganggap cara ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketimbang harus capek-capek mengatur strategi diri agar obyektif ; mengkaji masalah lebih jernih, utuh dan komperehensip / menyeluruh ; dan dengan lurus merujuk firman Allah dan atau sabda nabi dan rasull – Nya.
Tidakkah Allah menyuruh kita kaum Mu’minin untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kesucian agama ?
Allah berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an :
Mereka menganggap cara ini jauh lebih mudah. Tidak banyak menyita waktu dan energi, ketimbang harus capek-capek mengatur strategi diri agar obyektif ; mengkaji masalah lebih jernih, utuh dan komperehensip / menyeluruh ; dan dengan lurus merujuk firman Allah dan atau sabda nabi dan rasull – Nya.
Tidakkah Allah menyuruh kita kaum Mu’minin untuk menegakkan kebenaran dan menjaga kesucian agama ?
Allah berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an :
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berperilaku tidak adil.
Berlaku adillah karena pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. Al – Maidah : 8)
Dan
bukankah Allah sendiri, melalui lisan Rasulnya menyuruh kita kaum Mu’minin
untuk menjauhi prasangka-prasangka, mencari-cari kesalahan orang
lain, dan mengunjing sesama…?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Hujaraat ayat 12 :
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Hujaraat ayat 12 :
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakanmu dari berprasangka,
sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu mengunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”. (QS. 49 : 12)
Ataukah,
lagi-lagi tetap dengan alasan tidak cukup waktu atau memang kita terlalu angkuh
dan merasa tidak perlu untuk mendengarkan firman Allah tentang sikap dan
perilaku yang harus kita ambil dan meski kita jalani? Na’udzubillahi
Min Dzalik.
Lalu ketika setiap kali muncul tanggapan atas berbagai persoalan kemasyarakatan, masalah bangsa, atau bahkan agama yang kemudian nampak adalah budaya saling mendiskriditkan” saling “mengkambing hitamkan” atau mencari-cari pembenaran dan pembelaan atas “kepentingan” kelompok masing-masing. Maka siapakah yang paling bertanggung jawab untuk meluruskan semuanya itu?
Lalu ketika setiap kali muncul tanggapan atas berbagai persoalan kemasyarakatan, masalah bangsa, atau bahkan agama yang kemudian nampak adalah budaya saling mendiskriditkan” saling “mengkambing hitamkan” atau mencari-cari pembenaran dan pembelaan atas “kepentingan” kelompok masing-masing. Maka siapakah yang paling bertanggung jawab untuk meluruskan semuanya itu?
Kita
semua harus merasa punya tanggung jawab untuk itu. kalau dituntut skala
proritasnya tentu yang paling punya tanggung jawab besar adalah mereka yang
mengaku menjadi “pewaris para nabi / ulama atau para intelektual”, kemudian
para pemimpin atau Umara’, para pengamat masalah agama, sosial, budaya,
politik, dan ekonomi sampai akhirnya pada kitasemuanya juga.
Berbicara
tentang khilaf, “perbedaan” atau katakanlah pertikaian dikalangan umat Islam –
termasuk sebagian besar para tokoh pemimpinnya lagi-lagi kita masih melihat
sikap yang belum cukup dewasa (dan entah harus menunggu sampai kapan) dalam
menerima perbedaan. Dan sebagai pelerai kebingungan masyarakat yang diakibatkan
oleh pertikaian dikalangan “Atas” atau “elit pemimpinnya” dimana mereka sendiri
tidak dapat menjelaskannya, lalu merekapun berlindung dengan kalimat “Ikhtilafu
al-immah rahmah” ; perbedaan pra imam / pemimpin itu suatu rahmah”. Itu benar,
tetapi kita perlu khawatir, jangan-jangan dimaksudkan untuk satu tujuan yang
bathil. “Kalimatul haqqin uriida bihal baathil” karena pada kenyataannya banyak
diantara kita yang belum bisa menangkap rahmat Allah itu, bahkan sebaliknya,
justru tidak sedikit yang malah mengambil kesempatan untuk pamer ketidak
mampuan dalam berbeda, sehingga perbedaan apa saja yang mempunyai potensi
kontrofersial pada akhirnya hanyalah merupakan “kendaraan” yang dengan mudah
dapat dikendarai “sentimen” yang sudah subur karena
terus dipupuk.
Oleh
karenanya, para pemimpin dan orang-orang panutan kita harus mampu
mengaplikasikan fatwa-fatwa yang terus mereka anjurkan seperti mawas diri,
bersikap adil, pengendalian diri, menjaga persatuan, saling tolong-menolong dan
seterusnya dan sebagainya, termasuk sikap dewasa dalam menerima perbedaan.
Sebab ada ungkapan Arab yang menyatakan : “An-Naasu ‘Alaa diini Muluukihim”,
manusia itu tergantung pada (moral) agama para pemimpinnya”. Kalau panutannya
ngawur pengikutnyapun nabrak-nabrak juga. Kalau pemimpinnya kekanak-kanakan
bagaimana bisa diharapkan orang yang dipimpinnya menjadi dewasa. Kalau memang
benar, hal disebut terakhir terjadi, maka apakah yang bisa kita lakukan ?
kira-kira hanya tinggal do’a : “Allahummahdina wa Iyyahum”. “Semoga Allah
Ta’ala memeri petunjuk kepada kita dan mereka semuanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar