Kamis, 14 November 2013

Peran Mahasiswa dalam Peradaban Pendidikan Bangsa



 Oleh. E. Jalaludin
Pendidikan Bangsa
“Seluruh Dunia tahu bahwa pendidikan di Indonesia mengalami akselerasi merosot tajam dalam lima  (terutama tiga) dekade terakhir di banding negara lain meski lebih kecil seperti Hongkong…..
…..Namun dengan alasan mengalahkan negara Hongkong-pun bukan ukuran keberhasilan pendidikan di Indonesia, tidak sekarang dan tidak kapanpun”.[1]

Salah satu tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa “…mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia[2]….”. Terlepas dari segi Etimologi atau bukan memang harus kita yakini bahwa kecerdasan generasi bangsa menjadi tanggung jawab negara. Negara diharuskan terlibat penuh dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Bahkan bisa dengan menutup mata kita menganggap bahwa negara yang baik adalah negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan layak seperti yang dilakukan oleh Jepang.[3]
Ukuran keberhasilan pendidikan di setiap negara khususnya Indonesia ialah sejauh mana pendidikan nasional yang digeliatkan merupakan usaha yang relevan di tinjau dari amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana pendidikan mendatangkan kesejahteraan bagi bangsa. Sejauh mana pendidikan berhasil membangun sebuah bangsa yang bermartabat, kokoh dan maju. Selama itu semua belum tercapai, pendidikan nasional tidak bermakna apa-apa dan tidak patut di banggakan meski dengan mencatut manajemen pendidikan berbasis sekolah dari negara lain, tidak akan pernah sesuai dan sesubur benih aslinya karena yang dicontoh hanya bentuk lahirnya saja, tidak melalui penciptaan iklim dan ekologi yang kondusif.[4]
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Akan tetapi, seperti kita ketahui bahwa model pendidikan (kampus_red) yang sekarang hanya membebani mahasiswa dengan hapalan-hapalan rumus, teori, sekedar mengerjakan soal, tapi seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkan kedalam realitas sosial. Fenomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar “transfer of knowledge[5] sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. 
Pendidikan menjadi tercabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Pendidikan kita selama ini hanya berfungsi untuk “membunuh” kreativitas siswa/mahasiswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme.[6]  Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan seperti ini disebut sebagai banking education,[7] yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan.
Pendidikan merupakan aspek paling penting pada sebuah peradaban bangsa.  Dengan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter dapat dipastikan sebuah bangsa dapat mengoptimalkan pembangunannya. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran,  yang berimplikasi pada kelaparan dan masalah lainnya bukan tidak mungkin bahkan diyakini dapat teratasi oleh sistem pendidikan yang terintegrasi dan memiliki visi yang  jelas meski tanpa menafikan faktor-faktor penunjang lainnya.
Kita mungkin masih ingat bahwa mengenai data Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau Education For All di Indonesia MENURUN. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun 2011 merosot ke peringkat 69.   Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011:  The Hidden Crisis, Armed Conflict And Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.  Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, diantaranya angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Gambaran diatas mengesankan bahwa pendidikan di Indonesia sangat tertinggal jauh di bawah Malaysia apalagi Jepang. Meski Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Banyak hal yang menyebabkan kondisi pendidikan di Indonesia terpuruk seperti ini. Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak stabil, anggaran pendidikan yang kurang tepat sasaran, kualitas sumber daya pengajar yang kurang diperhatikan, serta Infrastuktur pendidikan yang belum memadai menjadi penyebab selanjutnya. Jika Indonesia hanya pulau Jawa, tingkat pembangunan infrastuktur bidang pendidikan bisa dibilang bagus. Akan tetapi, Sulawesi, Sumatra, Irian Jaya juga merupakan bagian dari Indonesia. Sudahkah infrastuktur pendidikan di sana memadai? Hal ini juga berdampak pada ketidakmerataan tingkat pendidikan di Indonesia.

Peran Mahasiswa

Pernah suatu ketika sebuah mata kuliah dosen pengampu saya berkata bahwa yang melekatkan kata “Maha” di dunia ini hanya ada beberapa. Diantaranya; Maha Kuasa (Tuhan), Maha guru (Ahli) dan Mahasiswa (Pelajar Perguruan Tinggi). Memang tak dipungkiri bahwa peletakan kata “maha” adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap mahasiswa (meski masih belajar).  Kita semua telah memahami satu hal bahwa mahasiswa memiliki posisi penting di masyarakat dan bangsa ini. Mahasiswa-pun adalah fase manusia yang paling optimal dengan kekuatan fisik, kematangan pikiran, intelektualitas, seluruhnya sudah terdapat pada fase mahasiswa. Maka sudah sepantasnya-lah mahasiswa mampu memiliki kepekaan yang tinggi. Kepekaan terhadap kondisi kekinian bangsa, kepekaan terhadap perbaikan terhadap kemunduran paradigma dan dituntut memiliki kecenderungan untuk peduli terhadap banyak aspek di negara ini, salah satunya adalah aspek pendidikan.
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa, ditangan para pemuda (mahasiswa)-lah masa depan sebuah bangsa (al-hadits), yang ternyata diterima atau tidak telah menanggung dosa para pendahulu dan dipaksa harus meneruskan serta meluruskan konsep para pendahulu. Mahasiswa dituntut untuk mampu meng-ejawantahkan pemahaman dan kompetensinya serta ikut serta mengatasi keterpurukan yang tengah dialami bangsa ini. Mahasiswa diharapkan peka menanggapi masalah seputar pendidikan ini. Karena pada hakekatnya, mahasiswa adalah jembatan intelektualisme dari pemahaman konsep menuju peng-ejawantahan pada tatanan realitas.
Mahasiswa merupakan entitas yang bisa menikmati nikmatnya konsep intelektualisme di tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, bukan saatnya lagi bagi mahasiswa untuk bersifat egois, melakukan demonstrasi atas kebijakan pendidikan di kampus saja (terkadang anarkis). Sekarang saatnya mahasiswa harus memikirkan solusi atas permasalahan di dunia pendidikan ini.
Namun, pertanyaan besar kembali hadir, bukankah mahasiswa tidak mungkin membuat keputusan strategis mengenai sistem pendidikan?. Bukankah mahasiswa pun tidak mungkin meningkatkan kualitas dosen dengan mengadakan program sertifikasi mandiri, membangun infrastuktur secara mandiri, dan hal-hal yang bersifat strategis lainnya. Lalu apa yang bisa mahasiswa lakukan?.
Peran dan Fungsi Mahasiswa-lah yang seharusnya dapat diterapkan sebagai solusi di bidang pendidikan ini. Dengan mengamalkan Peran dan Fungsi Mahasiswa (PFM), mahasiswa bisa membuat suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan di bangsa ini. Buah pikiran tersebut dapat disumbangkan kepada pihak terkait. Selain itu mahasiswa bisa melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan. Dengan demikian, komunikasi antara mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan  suatu solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan.
Mahasiswa sebagai generasi intelektual hanya bisa dihargai eksistensinya dengan kualitas intelektualnya pula, bukan dengan hal lainnya. Jika mahasiswa sudah tidak lagi bisa mengandalkan kecemerlangan intelektualnya, maka kemampuan lain apa yang bisa diberikan mahasiswa bagi negara ini. Oleh karena itu mahasiswa memiliki kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa. Beberapa hal yang bisa dilakukan mahasiswa diantaranya:
a)      Pengembangan Potensi Diri
Mahasiswa mengembangkan potensi dirinya sebagai bentuk kesadaran akan hakikat pendidikan yang mendasar. Mahasiswa diharapkan mampu menjual diri[8] (menemukan bakat dan kemampuan pribadi dan meng-ejawantahkan menjadi keunggulan- red) dan mampu mengembangkan kemampuan dirinya sehingga menjadi sebuah sumber kekayaan intelektual yang akan berguna bagi kemajuan diri dan lingkungannya.
b)     Melakukan Kontrol Kebijakan Pemerintah
Sesuai dengan peran dan fungsinya, mahasiswa wajib melakukan kontrol kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan mengenai penentuan arah dan karakteristik pendidikan bangsa. Sehingga mampu menganalisa kebijakan dan melakukan control terhadapnya.
c)       Memenuhi Kebutuhan akan Perbaikan Sistem Pendidikan Nasional
Mahasiswa seharusnya mampu menjawab dan memberi solusi atas kebutuhan-kebutuhan akan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Hal yang paling sederhana adalah dengan berprestasi di bidang masing-masing. Dengan itu, akan lahir banyak ahli di banyak bidang. Ahli-ahli tersebut sekaligus sebagai pemberi solusi terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dengan menerapkan usaha-usaha tersebut, diharapkan mahasiswa benar-benar berperan dalam perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak butuh wacana untuk berubah. Indonesia butuh pe-ubah, entitas yang bisa mengubah keterpurukan menjadi kemakmuran. Mahasiswa harus mampu menjadi entitas pe-ubah itu, demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Revitalisai Peran Strategis Mahasiswa dan Kampus (Menjawab Tantangan Realitas).
Sebagai anak bangsa kita semua mendambakan terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang cerdas dan berbahagia serta makmur melalui pendidikan nasional. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sistem pendidikan yang meng-indonesia-kan.
Pentingnya pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya sekedar sadar atau reseptif akan kemajuan ilmu dan teknologi masa depan, tetapi seharusnya pendidikan tinggi pun berfungsi untuk membenahi tingkat pendidikan di bawahnya. Paradigma yang ada pada beberapa bagian aktivitas para mahasiswa senantiasa dihabiskan dengan hanya belajar dikelas, menerima dan mengerjakan tugas dan bermain.  Begitulah pemandangan suram yang sering kita lihat dalam dunia kampus. Barangkali, apabila karena faktor internal (karena mahasiswa itu sendiri) maka bisa kita maklumi. Akan tetapi apabila hal ini karena akibat sistem yang membuat mereka seperti itu dalam kehidupan kampus, maka bukan waktunya lagi mahasiswa untuk diam dan jalan ditempat. Mari kita cermati, akibat tepenjaranya gagasan-gagasan mereka (mahasiswa) yang cerdas, maka tidak heran apabila kita melihat berbagai organisasi mahasiswa hanya terlihat nampak hidup dalam kampus (action in the box) bagaikan lembaga seminar, komunitas pembuat proposal, tempat mengobrol  dan lain sebagainya. Walaupun begitu, ditengah meningkatnya atmosfer wabah ‘hedonisme’ yang menjangkit para mahasiswa masih kita lihat dan menemukan sosok-sosok mahasiswa idealis yang walaupun mereka kaum minoritas tapi peran mereka mayoritas dalam memberikan solusi terhadap masalah yang ada, tentunya dengan kecerdasan pembuatan kebijakan-kebijakan yang mereka buat.
Mahasiswa adalah agen of change (agen pe-ubah), agen pembelajar. Kampus adalah sebuah sumber yang menjadi muara tempat menimba ilmu membutuhkan dua bahan dasar utama; mahasiswa dan sistem
Menuju Gerakan Pemecahan Masalah Sosial
Mahasiswa dikampus yang masih aktif kuliah disebut dalam tataran “experiment to learn” sementara dalam kehidupan masyarakat, mahasiswa diajarkan “experiment to action” dan ketika mereka benar-benar lulus dari kampus dan membaur dengan masyarakat maka itulah saatnya “given the real contribution”, bukan waktunya experiment lagi. Oleh karena itu mahasiswa dituntut untuk merubah wacana menjadi aksi nyata yang diharapkan mampu memberikan jawaban atas keterpurukan bangsa (red).
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Fidaus M. Yunus (2004) menyampaikan keresahannya dalam buku “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”, secara gamblang dia menuturkan mengenai fenomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar “transfer of knowledge“ sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Perbincangan diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya perbincangan mengenai manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang berhak mendapatkan pendidikan.
Terdapat tiga “saham pendidikan” yang itu menjadi bahan dasar miniatur pendidik formal, yaitu : a). mahasiswa sebagai agen pembelajar, b). sistem sebagai rule and law, dan c). kampus yang menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus membutuhkan dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem.  Apabila ketiga “saham pendidikan” ini (kampus, sistem dan mahasiswa) telah bersinergi menuju kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka (mahasiswa) harus di antarkan dengan karpet merah untuk melakukan misi selanjutnya, yaitu “Ekspansi Akademik” agar keluar dari kampus dan menyatu dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa pertama-tama harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang tentunya mencangkup masyarakat luas.
Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa merupakan ‘amunisi mutakhir’ dalam pemberantasan problematika yang ada dalam masyarakat terutama dalam lingkup pendidikannya. Mereka yang sudah tercerahkan dari dunia kampus harus melakukan pencerahan kembali kepada masyarakat yang mana dengan segala keterbatasannya, masyarakat tidak bisa mendapatkan pencerahan itu dikampus. Dengan program pemberdayaan manusia diantaranya Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM), Praktek Pendidikan Lapangan (PPL) sebagai aset permanen, dan banyak program lain yang dapat dilakukan mahasiswa dalam membantu masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Jika sudah demikian, mungkin tidak terlalu memaksakan apabila kita mengatakan bahwa mahasiswa merupakan ikut andil memegang saham kebangkitan!
Pada akhirnya, bagaimanapun keadaannya, seperti tertuang dalam sebuah hadits : “inna fii yaadi subba(n) amrul ummah”, ditangan para pemuda (mahasiswa) lah masa depan sebuah bangsa. Penulis yakin mahasiswa bisa mewujudkan ini semua. YAKUSA (Yakin Usaha Sampai)
Daftar Referensi
Paulo Freire dkk,1999, Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis), Pustaka Pelajar: Yogyakarta;
Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta;
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Yunus, Firdaus,M, 2004, Pendidikan Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta
Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Prof. Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Penerbit Kompas, Jakarta 2009.



[1] Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Penerbit Kompas, Jakarta 2009
[2] Preambule UUD  1945
[3] Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Penerbit Kompas, Jakarta 2009
[4] I b i d

[5] Fidaus M. Yunus (2004) “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”,
[6] Chaedar Alwasih (1993;23)
[7] Paulo Freire (1970;119)
[8]  (menemukan bakat dan kemampuan pribadi dan meng-ejawantahkan menjadi keunggulan- red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar