Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 November 2013

Manusia Dan Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah sifat terpuji yang mendasar dalam diri manusia. Selaras dengan fitrah. Tapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.
 
Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. Yang kami maksud adalah perasaan nurani kita, hati kita, yang mempunyai pengaruh besar dalam mengarahkan sikap kita menuju hal positif. Nabi bersabda: "Mintalah petunjuk pada hati (nurani)mu."
 
Dalam wacana keislaman, tanggung jawab adalah tanggung jawab personal. Seorang muslim tidak akan dibebani tanggung jawab orang lain. Allah berfirman: "Setiap jiwa adalah barang gadai bagi apa yang ia kerjakan." Dan setiap pojok dari ruang kehidupan tidak akan lepas dari tanggung jawab. Kullukum râ'in wa kullukum mas'ûlun 'an Ro‘iyyatih.....
 
Tanggung jawab bisa dikelompokkan dalam dua hal. Pertama, tanggung jawab individu terhadap dirinya pribadi. Dia harus bertanggung jawab terhadap akal(pikiran)nya, ilmu, raga, harta, waktu, dan kehidupannya secara umum. Rasulullah bersabda: "Bani Adam tidak akan lepas dari empat pertanyaan (pada hari kiamat nanti); Tentang umur, untuk apa ia habiskan; Tentang masa muda, bagaimana ia pergunakan; Tentang harta, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia gunakan; Tentang ilmu, untuk apa ia amalkan."
 
Kedua, tanggung jawab manusia kepada orang lain dan lingkungan (sosial) di mana ia hidup. Kita ketahui bersama bahwa manusia adalah makhluq yang membutuhkan orang lain dalam hidupnya untuk pengembangan dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kewajiban-kewajiban moral terhadap lingkungan sosialnya. Kewajiban sangat erat kaitannya dengan eksistensi seseorang sebagai bagian dari masyarakat. Kita sadar bahwa kalau kita tidak melaksanakan tanggung jawab terhadap orang lain, tidak pantas bagi kita menuntut orang lain  untuk bertanggung jawab pada kita. Kalau kita tidak berlaku adil pada orang lain, jangan harap orang lain akan berbuat adil pada kita.
 
Ada sebagian orang yang berkata bahwa kesalahan-kesalahan yang ia lakukan adalah takdir yang telah ditentukan Tuhan kepadanya. Dan dia tidak bisa menolaknya. Satu misal sejarah; suatu ketika di masa Umar bin Khattab, seorang pencuri tertangkap dan  kemudian dibawa ke hadapan khalifah. Beliau bertanya: "Mengapa kamu mencuri?", pencuri itu menjawab "Ini adalah takdir. Saya tidak bisa menolaknya." Khalifah Umar kemudian menyuruh sahabat-sahabat untuk menjilidnya 30 kali. Para sahabat heran dan bertanya "Mengapa dijilid? bukankah itu menyalahi aturan?"  Khlaifah menjawab "Karena ia telah berdusta kepada Allah."
 
Seorang muslim tidak boleh melepas tangan (menghindar dari tanggung jawab) dengan beralasan bahwa kesalahan yang ia kerjakan adalah takdir yang ditentukan Allah kepadanya. Tanggung jawab tetap harus ditegakkan. Allah hanya menentukan suratan ulisan) tentang apa yang akan dikerjakan manusia berdasarkan keinginan mereka yang merdeka, tidak ada paksaan. Dari sinilah manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan. Mulai dari hal yang sangat kecil sampai yang paling besar. "Barang siap yang berbuat kebaikan, walau sebesar biji atom, dia akan melihatnya. Dan barang siapa yang berbuat kejelekan, walau sebesar biji atom, maka ia akan melihatnya pula" (al Zalzalah 7-8).
http://dicky_funny.tripod.com/tanggungjawab.htm

Kamis, 14 November 2013

Makna Hari Pahlawan



Makna Hari Pahlawan
Oleh : Apriyudin
Setiap tanggal 10 November bangsa kita merayakan Hari Pahlawan. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan jiawa,raga dan hartanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Mengapa tanggal 10 November dipilih sebagai Hari Pahlawan karena pada saat itu para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.
Padahal saat itu kita hanya mempunyai beberapa pucuk senjata api, selebihnya para pejuang menggunakan bambu runcing. Namun para pejuang kita tak pernah gentar untuk melawan penjajah. Kita masih ingat tokoh yang terkenal pada saat perjuangan itu yakni Bung Tomo yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya radio. Setiap tahun kita mengenang jasa para pahlawan. Namun terasa, mutu  peringatan  itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sudah makin tidak menghayati makna hari pahlawan. Peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat hanya seremonial saja. Memang kita tidak ikut mengorbankan nyawa seperti para pejuang di Surabaya pada waktu itu.Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah kita merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November.Akan tetapi kepahlawanan tidak hanya sekedar itu saja.
Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Menghadapi situasi seperti sekarang kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Bangsa ini sedang membutuhkan banyak pahlawan, pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan Indonesia yang bersih dan bebas korupsi. Negeri kita sedang diwarnai kasus korupsi yang sudah mencapai stadium terakhir. Karena sudah melibatkan para pejabat tinggi dan yang paling menyedihkan sudah melibatkan para penegak hukumnya sendiri. Yang semestinya mereka membantu membrantas korupsi namun sekarang kebalikan dari semua itu. Dan kita sangat membutuhkan orang-orang berani untuk memberantasnya.Karena korupsi adalah akar dari kehancuran sebuah Negara. Karekteristik seorang pahlawan adalah jujur, pemberani, dan rela melakukan apapun demi kebaikan dan kesejahteraan orang banyak.
Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Karena itu, hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Kita bertanya pada diri sendiri apakah kita rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar. Itulah pahlawan sekarang.

Sumber:
http://raytkj.blogspot.com/2012/11/makna-hari-pahlawan-10-november-2012.html

Peran Mahasiswa dalam Peradaban Pendidikan Bangsa



 Oleh. E. Jalaludin
Pendidikan Bangsa
“Seluruh Dunia tahu bahwa pendidikan di Indonesia mengalami akselerasi merosot tajam dalam lima  (terutama tiga) dekade terakhir di banding negara lain meski lebih kecil seperti Hongkong…..
…..Namun dengan alasan mengalahkan negara Hongkong-pun bukan ukuran keberhasilan pendidikan di Indonesia, tidak sekarang dan tidak kapanpun”.[1]

Salah satu tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa “…mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia[2]….”. Terlepas dari segi Etimologi atau bukan memang harus kita yakini bahwa kecerdasan generasi bangsa menjadi tanggung jawab negara. Negara diharuskan terlibat penuh dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Bahkan bisa dengan menutup mata kita menganggap bahwa negara yang baik adalah negara yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan layak seperti yang dilakukan oleh Jepang.[3]
Ukuran keberhasilan pendidikan di setiap negara khususnya Indonesia ialah sejauh mana pendidikan nasional yang digeliatkan merupakan usaha yang relevan di tinjau dari amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana pendidikan mendatangkan kesejahteraan bagi bangsa. Sejauh mana pendidikan berhasil membangun sebuah bangsa yang bermartabat, kokoh dan maju. Selama itu semua belum tercapai, pendidikan nasional tidak bermakna apa-apa dan tidak patut di banggakan meski dengan mencatut manajemen pendidikan berbasis sekolah dari negara lain, tidak akan pernah sesuai dan sesubur benih aslinya karena yang dicontoh hanya bentuk lahirnya saja, tidak melalui penciptaan iklim dan ekologi yang kondusif.[4]
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Akan tetapi, seperti kita ketahui bahwa model pendidikan (kampus_red) yang sekarang hanya membebani mahasiswa dengan hapalan-hapalan rumus, teori, sekedar mengerjakan soal, tapi seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkan kedalam realitas sosial. Fenomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar “transfer of knowledge[5] sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. 
Pendidikan menjadi tercabut dari problem riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Pendidikan kita selama ini hanya berfungsi untuk “membunuh” kreativitas siswa/mahasiswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme.[6]  Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan seperti ini disebut sebagai banking education,[7] yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan.
Pendidikan merupakan aspek paling penting pada sebuah peradaban bangsa.  Dengan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter dapat dipastikan sebuah bangsa dapat mengoptimalkan pembangunannya. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran,  yang berimplikasi pada kelaparan dan masalah lainnya bukan tidak mungkin bahkan diyakini dapat teratasi oleh sistem pendidikan yang terintegrasi dan memiliki visi yang  jelas meski tanpa menafikan faktor-faktor penunjang lainnya.
Kita mungkin masih ingat bahwa mengenai data Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau Education For All di Indonesia MENURUN. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun 2011 merosot ke peringkat 69.   Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011:  The Hidden Crisis, Armed Conflict And Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.  Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, diantaranya angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD).
Gambaran diatas mengesankan bahwa pendidikan di Indonesia sangat tertinggal jauh di bawah Malaysia apalagi Jepang. Meski Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Banyak hal yang menyebabkan kondisi pendidikan di Indonesia terpuruk seperti ini. Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak stabil, anggaran pendidikan yang kurang tepat sasaran, kualitas sumber daya pengajar yang kurang diperhatikan, serta Infrastuktur pendidikan yang belum memadai menjadi penyebab selanjutnya. Jika Indonesia hanya pulau Jawa, tingkat pembangunan infrastuktur bidang pendidikan bisa dibilang bagus. Akan tetapi, Sulawesi, Sumatra, Irian Jaya juga merupakan bagian dari Indonesia. Sudahkah infrastuktur pendidikan di sana memadai? Hal ini juga berdampak pada ketidakmerataan tingkat pendidikan di Indonesia.

Peran Mahasiswa

Pernah suatu ketika sebuah mata kuliah dosen pengampu saya berkata bahwa yang melekatkan kata “Maha” di dunia ini hanya ada beberapa. Diantaranya; Maha Kuasa (Tuhan), Maha guru (Ahli) dan Mahasiswa (Pelajar Perguruan Tinggi). Memang tak dipungkiri bahwa peletakan kata “maha” adalah bentuk penghargaan tertinggi terhadap mahasiswa (meski masih belajar).  Kita semua telah memahami satu hal bahwa mahasiswa memiliki posisi penting di masyarakat dan bangsa ini. Mahasiswa-pun adalah fase manusia yang paling optimal dengan kekuatan fisik, kematangan pikiran, intelektualitas, seluruhnya sudah terdapat pada fase mahasiswa. Maka sudah sepantasnya-lah mahasiswa mampu memiliki kepekaan yang tinggi. Kepekaan terhadap kondisi kekinian bangsa, kepekaan terhadap perbaikan terhadap kemunduran paradigma dan dituntut memiliki kecenderungan untuk peduli terhadap banyak aspek di negara ini, salah satunya adalah aspek pendidikan.
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa, ditangan para pemuda (mahasiswa)-lah masa depan sebuah bangsa (al-hadits), yang ternyata diterima atau tidak telah menanggung dosa para pendahulu dan dipaksa harus meneruskan serta meluruskan konsep para pendahulu. Mahasiswa dituntut untuk mampu meng-ejawantahkan pemahaman dan kompetensinya serta ikut serta mengatasi keterpurukan yang tengah dialami bangsa ini. Mahasiswa diharapkan peka menanggapi masalah seputar pendidikan ini. Karena pada hakekatnya, mahasiswa adalah jembatan intelektualisme dari pemahaman konsep menuju peng-ejawantahan pada tatanan realitas.
Mahasiswa merupakan entitas yang bisa menikmati nikmatnya konsep intelektualisme di tingkat perguruan tinggi. Oleh karena itu, bukan saatnya lagi bagi mahasiswa untuk bersifat egois, melakukan demonstrasi atas kebijakan pendidikan di kampus saja (terkadang anarkis). Sekarang saatnya mahasiswa harus memikirkan solusi atas permasalahan di dunia pendidikan ini.
Namun, pertanyaan besar kembali hadir, bukankah mahasiswa tidak mungkin membuat keputusan strategis mengenai sistem pendidikan?. Bukankah mahasiswa pun tidak mungkin meningkatkan kualitas dosen dengan mengadakan program sertifikasi mandiri, membangun infrastuktur secara mandiri, dan hal-hal yang bersifat strategis lainnya. Lalu apa yang bisa mahasiswa lakukan?.
Peran dan Fungsi Mahasiswa-lah yang seharusnya dapat diterapkan sebagai solusi di bidang pendidikan ini. Dengan mengamalkan Peran dan Fungsi Mahasiswa (PFM), mahasiswa bisa membuat suatu pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar pendidikan di bangsa ini. Buah pikiran tersebut dapat disumbangkan kepada pihak terkait. Selain itu mahasiswa bisa melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan. Dengan demikian, komunikasi antara mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dengan menghasilkan  suatu solusi bagi kebuntuan permasalahan pendidikan.
Mahasiswa sebagai generasi intelektual hanya bisa dihargai eksistensinya dengan kualitas intelektualnya pula, bukan dengan hal lainnya. Jika mahasiswa sudah tidak lagi bisa mengandalkan kecemerlangan intelektualnya, maka kemampuan lain apa yang bisa diberikan mahasiswa bagi negara ini. Oleh karena itu mahasiswa memiliki kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa. Beberapa hal yang bisa dilakukan mahasiswa diantaranya:
a)      Pengembangan Potensi Diri
Mahasiswa mengembangkan potensi dirinya sebagai bentuk kesadaran akan hakikat pendidikan yang mendasar. Mahasiswa diharapkan mampu menjual diri[8] (menemukan bakat dan kemampuan pribadi dan meng-ejawantahkan menjadi keunggulan- red) dan mampu mengembangkan kemampuan dirinya sehingga menjadi sebuah sumber kekayaan intelektual yang akan berguna bagi kemajuan diri dan lingkungannya.
b)     Melakukan Kontrol Kebijakan Pemerintah
Sesuai dengan peran dan fungsinya, mahasiswa wajib melakukan kontrol kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan mengenai penentuan arah dan karakteristik pendidikan bangsa. Sehingga mampu menganalisa kebijakan dan melakukan control terhadapnya.
c)       Memenuhi Kebutuhan akan Perbaikan Sistem Pendidikan Nasional
Mahasiswa seharusnya mampu menjawab dan memberi solusi atas kebutuhan-kebutuhan akan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Hal yang paling sederhana adalah dengan berprestasi di bidang masing-masing. Dengan itu, akan lahir banyak ahli di banyak bidang. Ahli-ahli tersebut sekaligus sebagai pemberi solusi terhadap permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dengan menerapkan usaha-usaha tersebut, diharapkan mahasiswa benar-benar berperan dalam perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak butuh wacana untuk berubah. Indonesia butuh pe-ubah, entitas yang bisa mengubah keterpurukan menjadi kemakmuran. Mahasiswa harus mampu menjadi entitas pe-ubah itu, demi Indonesia yang lebih baik dan bermartabat.
Revitalisai Peran Strategis Mahasiswa dan Kampus (Menjawab Tantangan Realitas).
Sebagai anak bangsa kita semua mendambakan terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang cerdas dan berbahagia serta makmur melalui pendidikan nasional. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan sistem pendidikan yang meng-indonesia-kan.
Pentingnya pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya sekedar sadar atau reseptif akan kemajuan ilmu dan teknologi masa depan, tetapi seharusnya pendidikan tinggi pun berfungsi untuk membenahi tingkat pendidikan di bawahnya. Paradigma yang ada pada beberapa bagian aktivitas para mahasiswa senantiasa dihabiskan dengan hanya belajar dikelas, menerima dan mengerjakan tugas dan bermain.  Begitulah pemandangan suram yang sering kita lihat dalam dunia kampus. Barangkali, apabila karena faktor internal (karena mahasiswa itu sendiri) maka bisa kita maklumi. Akan tetapi apabila hal ini karena akibat sistem yang membuat mereka seperti itu dalam kehidupan kampus, maka bukan waktunya lagi mahasiswa untuk diam dan jalan ditempat. Mari kita cermati, akibat tepenjaranya gagasan-gagasan mereka (mahasiswa) yang cerdas, maka tidak heran apabila kita melihat berbagai organisasi mahasiswa hanya terlihat nampak hidup dalam kampus (action in the box) bagaikan lembaga seminar, komunitas pembuat proposal, tempat mengobrol  dan lain sebagainya. Walaupun begitu, ditengah meningkatnya atmosfer wabah ‘hedonisme’ yang menjangkit para mahasiswa masih kita lihat dan menemukan sosok-sosok mahasiswa idealis yang walaupun mereka kaum minoritas tapi peran mereka mayoritas dalam memberikan solusi terhadap masalah yang ada, tentunya dengan kecerdasan pembuatan kebijakan-kebijakan yang mereka buat.
Mahasiswa adalah agen of change (agen pe-ubah), agen pembelajar. Kampus adalah sebuah sumber yang menjadi muara tempat menimba ilmu membutuhkan dua bahan dasar utama; mahasiswa dan sistem
Menuju Gerakan Pemecahan Masalah Sosial
Mahasiswa dikampus yang masih aktif kuliah disebut dalam tataran “experiment to learn” sementara dalam kehidupan masyarakat, mahasiswa diajarkan “experiment to action” dan ketika mereka benar-benar lulus dari kampus dan membaur dengan masyarakat maka itulah saatnya “given the real contribution”, bukan waktunya experiment lagi. Oleh karena itu mahasiswa dituntut untuk merubah wacana menjadi aksi nyata yang diharapkan mampu memberikan jawaban atas keterpurukan bangsa (red).
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Fidaus M. Yunus (2004) menyampaikan keresahannya dalam buku “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”, secara gamblang dia menuturkan mengenai fenomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar “transfer of knowledge“ sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Perbincangan diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya perbincangan mengenai manusia itu sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang berhak mendapatkan pendidikan.
Terdapat tiga “saham pendidikan” yang itu menjadi bahan dasar miniatur pendidik formal, yaitu : a). mahasiswa sebagai agen pembelajar, b). sistem sebagai rule and law, dan c). kampus yang menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus membutuhkan dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem.  Apabila ketiga “saham pendidikan” ini (kampus, sistem dan mahasiswa) telah bersinergi menuju kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka (mahasiswa) harus di antarkan dengan karpet merah untuk melakukan misi selanjutnya, yaitu “Ekspansi Akademik” agar keluar dari kampus dan menyatu dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa pertama-tama harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang tentunya mencangkup masyarakat luas.
Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa merupakan ‘amunisi mutakhir’ dalam pemberantasan problematika yang ada dalam masyarakat terutama dalam lingkup pendidikannya. Mereka yang sudah tercerahkan dari dunia kampus harus melakukan pencerahan kembali kepada masyarakat yang mana dengan segala keterbatasannya, masyarakat tidak bisa mendapatkan pencerahan itu dikampus. Dengan program pemberdayaan manusia diantaranya Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM), Praktek Pendidikan Lapangan (PPL) sebagai aset permanen, dan banyak program lain yang dapat dilakukan mahasiswa dalam membantu masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Jika sudah demikian, mungkin tidak terlalu memaksakan apabila kita mengatakan bahwa mahasiswa merupakan ikut andil memegang saham kebangkitan!
Pada akhirnya, bagaimanapun keadaannya, seperti tertuang dalam sebuah hadits : “inna fii yaadi subba(n) amrul ummah”, ditangan para pemuda (mahasiswa) lah masa depan sebuah bangsa. Penulis yakin mahasiswa bisa mewujudkan ini semua. YAKUSA (Yakin Usaha Sampai)
Daftar Referensi
Paulo Freire dkk,1999, Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis), Pustaka Pelajar: Yogyakarta;
Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan Profetik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta;
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Yunus, Firdaus,M, 2004, Pendidikan Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta
Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Prof. Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Penerbit Kompas, Jakarta 2009.



[1] Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Penerbit Kompas, Jakarta 2009
[2] Preambule UUD  1945
[3] Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Penerbit Kompas, Jakarta 2009
[4] I b i d

[5] Fidaus M. Yunus (2004) “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”,
[6] Chaedar Alwasih (1993;23)
[7] Paulo Freire (1970;119)
[8]  (menemukan bakat dan kemampuan pribadi dan meng-ejawantahkan menjadi keunggulan- red)

Kamis, 31 Oktober 2013

Pembinaan Ahlak dalam Islam

Oleh :Asep Jurjani 

 Definisi dari Ahlak itu ada dua pendekatan yang dapat kita gunakan dalam mendefinisikannya, yaitu linguistik (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
                                Dari segi kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata aklaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (karakter,kelakuan, watak dasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik, dan al-din (agama)(Abudin nata 2010: 1).
                Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kata akhlak itu isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memilki akar kata, melainkan kata tersebut sudah demikian adanya. Kata akhlak maupun kata khuluq terlepas isim jamid atau bukan yang pasti kedua-duanya dijumpai pemakaiannya didalam al-Quran dan hadis, sebagai berikut :

 Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(QS. Al-Qalam, 68: 4).
 (agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu
.(QS. al-Syu’ara, 26: 137).
 Sedangkan penggunaan kata akhlak sering digunakan dalam hadits Nabi dan yang paling populer yaitu:
 Aku hanya diutus untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti.(HR. Ahmad).
Ayat yang pertama disebut diatas menggunakan kata khuluq  untuk arti budi pekerti,
sedangkan ayat yang kedua khuluq untuk arti adat kebiasaan. Dengan demikian kata
khlak/khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai, muru’ah
atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at(Abudin Nata 2010: 2). Demikianlah
definisi akhlak/ khuluq dari segi kebahasaan.
Definisi akhlak dari segi terminologik penulis mengambil berbagai pendapat para pakar
dibidang ini. Ibnu miskawaih (w. 421 H/ 1030 M) yang selanjutnya dikeanl ssebagai
pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu ssecara singkat mendefinisikan bahwa
akhlak :
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.(ibn miskawaih 1934: 40).
Sementara itu imam al-Gazali (1059-1111 M.) yang dikenal sebagai hujjatul islam
(pemebela islam), karena kepaiawaiannya dalam membela islam dari berbagai paham
yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari ibn miskawaih, mengatakan,
akhlak adalah :
  Sifat yang tertanam dalam jiwa yang minimbulkan macam-macam peruatana dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam al-ghazali jilid III : 56).
   Dari definisi dua pakar  diatas dapat kita ambil subtansinya, terdapat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:
·          Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
·          Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
·          Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
·          Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah per buatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
     Kelima, perbuatan akhlak dilakukan karena ikhlas semata-mata karena allah, bukan karena aingin dipuji orang lain.(Abudin Nata 2010: 6). Deimikianlah subtansi definisi akhlak dari dua pakar diatas yang selanjutnya akan menjadi batasan dalam pembahasan ini.
Secara garis besar akhlak dapat dibagi dua bagian, yaitu: akhlak baik (al-akhlaq al-mahmudah), dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-madzmumah).  Seperti apa contohnya akhlak yang baik itu? yang jelas segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan al-quran, karena yang menjadi patokan dasar benar salah dalam islam berinduk pada al-Quran. Contohnnya: berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, dan amanah. Seperti apa akhlak yang buruk itu? jelas segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran, contohnya: berbuat dzalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir, dan curang. Itulah batasan akhlak baik dan akhlak buruk.
    Optimalisasi pembinaan akhlak
     Apa saja pembinaan akhlak yang harus dioptimalkan? Secara teoritis macam-macam akhlak itu berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira/ kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat dikepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat diperut.(harun nasution 1983: 17). Bagaimana mengoptimalkan potensi akal? Gunakan secara adil maka akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah jika digunakan dengan adil maka akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari peerbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil. Mengoptimalkan pembinaan diri untuk bersiakap adal maka akhlak karimah akan terbentuk dalam diri seseorang, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa, sebagimana firman Allah:
    Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Pengoptimalisasian pembinaan akhlak ini merupakan alternatif yang sangat tepat untuk membentuk karakter bangsa ini. Islam telah membina dengan baik supaya manusia menjadi manusia yang utuh, namun yang menjadi permasalahan adalah aktualisasi dan optimalisasi yang relatif tidak dilakukan. Banyak penceramah atau mubaligh yang menyampaikan tentang akhlak namun aktualisainya yang sulit. Tanpa aksi hanya bicara susah untuk bisa mengoptimalkan pembinaan akhlak karimah, jangan NATO (No Action Talk Only). Cara dakwah Rasulullah saw., menitik beratkan kepada aksi (da’wah bil hal). 
      Terbentuknya karakter bangsa, jelas harus diawali dengan terbentuknya karakter keluarga, dan didalam keluarga lah individu-individu itu terbentuk karakternya. Sebagaimana sabda Nabi “tidaklah dilahirkan manusia itu kecuali dalam keadaan fitrah kemudian kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau menasonikannya…”(HR. Mutafaq ‘Alaih). Dalam hadits ini jelas kita menemukan teori peran orang tua/lingkungan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.  Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun orang tua dalam arti luas yaitu lingkungan. Maka daripada itu pembinaan akhlak ini harus dioptimalisasikan pada tiga lingkungan dimana seseorang berada yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat.: