Oleh. E. Jalaludin
Pendidikan
Bangsa
“Seluruh Dunia tahu bahwa pendidikan di
Indonesia mengalami akselerasi merosot tajam dalam lima (terutama tiga) dekade terakhir di banding negara
lain meski lebih kecil seperti Hongkong…..
…..Namun dengan
alasan mengalahkan negara Hongkong-pun bukan ukuran keberhasilan pendidikan di
Indonesia, tidak sekarang dan tidak kapanpun”.[1]
Salah satu tujuan negara yang tertuang dalam
UUD 1945 bahwa “…mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia[2]….”.
Terlepas dari segi Etimologi atau bukan memang harus kita yakini bahwa
kecerdasan generasi bangsa menjadi tanggung jawab negara. Negara diharuskan
terlibat penuh dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Bahkan bisa dengan menutup
mata kita menganggap bahwa negara yang baik adalah negara yang mampu menyelenggarakan
pendidikan dengan layak seperti yang dilakukan oleh Jepang.[3]
Ukuran keberhasilan pendidikan di setiap
negara khususnya Indonesia ialah sejauh mana pendidikan nasional yang
digeliatkan merupakan usaha yang relevan di tinjau dari amanah konstitusi untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana pendidikan mendatangkan kesejahteraan
bagi bangsa. Sejauh mana pendidikan berhasil membangun sebuah bangsa yang
bermartabat, kokoh dan maju. Selama itu semua belum tercapai, pendidikan
nasional tidak bermakna apa-apa dan tidak patut di banggakan meski dengan
mencatut manajemen pendidikan berbasis sekolah dari negara lain, tidak akan
pernah sesuai dan sesubur benih aslinya karena yang dicontoh hanya bentuk
lahirnya saja, tidak melalui penciptaan iklim dan ekologi yang kondusif.[4]
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka
membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Akan
tetapi, seperti kita ketahui bahwa model pendidikan (kampus_red) yang sekarang
hanya membebani mahasiswa dengan hapalan-hapalan rumus, teori, sekedar
mengerjakan soal, tapi seringkali tidak sanggup untuk menerjemahkan kedalam
realitas sosial. Fenomena penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar “transfer
of knowledge“[5]
sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat.
Pendidikan menjadi tercabut dari problem
riil yang seharusnya mereka jawab dan selesaikan. Pendidikan kita selama ini
hanya berfungsi untuk “membunuh”
kreativitas siswa/mahasiswa, karena lebih mengedepankan aspek verbalisme.[6]
Verbalisme merupakan suatu asas pendidikan
yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada
substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta
hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan seperti
ini disebut sebagai banking education,[7]
yaitu suatu model pendidikan yang tidak kritis, karena hanya diarahkan untuk
domestifikasi, penjinakan, penyesuaian sosial dengan keadaan penindasan.
Pendidikan merupakan aspek paling penting
pada sebuah peradaban bangsa. Dengan
pendidikan yang berkualitas dan berkarakter dapat dipastikan sebuah bangsa
dapat mengoptimalkan pembangunannya. Masalah-masalah sosial seperti kemiskinan,
pengangguran, yang berimplikasi pada
kelaparan dan masalah lainnya bukan tidak mungkin bahkan diyakini dapat teratasi
oleh sistem pendidikan yang terintegrasi dan memiliki visi yang jelas meski tanpa menafikan faktor-faktor
penunjang lainnya.
Kita mungkin masih ingat
bahwa mengenai data Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau Education For All di Indonesia MENURUN. Jika pada 2010 lalu Indonesia
berada di peringkat 65, tahun 2011 merosot ke peringkat 69. Berdasarkan data dalam Education For All
(EFA) Global Monitoring Report 2011: The
Hidden Crisis, Armed Conflict And Education yang dikeluarkan Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/2011), Indeks Pembangunan
Pendidikan atau Education Development Index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934.
Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1.
Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman
perolehan empat kategori penilaian, diantaranya angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah
dasar (SD).
Gambaran diatas
mengesankan bahwa pendidikan di Indonesia sangat tertinggal jauh di bawah
Malaysia apalagi Jepang. Meski Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dari
Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Banyak hal yang menyebabkan kondisi
pendidikan di Indonesia terpuruk seperti ini. Sistem pendidikan di Indonesia
yang tidak stabil, anggaran pendidikan yang kurang tepat sasaran, kualitas
sumber daya pengajar yang kurang diperhatikan, serta Infrastuktur pendidikan
yang belum memadai menjadi penyebab selanjutnya. Jika Indonesia hanya pulau
Jawa, tingkat pembangunan infrastuktur bidang pendidikan bisa dibilang bagus.
Akan tetapi, Sulawesi, Sumatra, Irian Jaya juga merupakan bagian dari
Indonesia. Sudahkah infrastuktur pendidikan di sana memadai? Hal ini juga
berdampak pada ketidakmerataan tingkat pendidikan di Indonesia.
Peran Mahasiswa
Pernah suatu ketika sebuah mata kuliah dosen
pengampu saya berkata bahwa yang melekatkan kata “Maha” di dunia ini hanya ada
beberapa. Diantaranya; Maha Kuasa (Tuhan), Maha guru (Ahli) dan Mahasiswa (Pelajar
Perguruan Tinggi). Memang tak dipungkiri bahwa peletakan kata “maha” adalah bentuk penghargaan
tertinggi terhadap mahasiswa (meski masih belajar). Kita semua telah memahami satu hal bahwa
mahasiswa memiliki posisi penting di masyarakat dan bangsa ini. Mahasiswa-pun
adalah fase manusia yang paling optimal dengan kekuatan fisik, kematangan
pikiran, intelektualitas, seluruhnya sudah terdapat pada fase mahasiswa. Maka
sudah sepantasnya-lah mahasiswa mampu memiliki kepekaan yang tinggi. Kepekaan
terhadap kondisi kekinian bangsa, kepekaan terhadap perbaikan terhadap kemunduran
paradigma dan dituntut memiliki kecenderungan untuk peduli terhadap banyak
aspek di negara ini, salah satunya adalah aspek pendidikan.
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa,
ditangan para pemuda (mahasiswa)-lah masa depan sebuah bangsa (al-hadits), yang
ternyata diterima atau tidak telah menanggung dosa para pendahulu dan dipaksa harus
meneruskan serta meluruskan konsep para pendahulu. Mahasiswa dituntut untuk
mampu meng-ejawantahkan pemahaman dan kompetensinya serta ikut serta mengatasi
keterpurukan yang tengah dialami bangsa ini. Mahasiswa diharapkan peka
menanggapi masalah seputar pendidikan ini. Karena pada hakekatnya, mahasiswa
adalah jembatan intelektualisme dari pemahaman konsep menuju peng-ejawantahan pada
tatanan realitas.
Mahasiswa merupakan entitas yang bisa
menikmati nikmatnya konsep intelektualisme di tingkat perguruan tinggi. Oleh
karena itu, bukan saatnya lagi bagi mahasiswa untuk bersifat egois, melakukan
demonstrasi atas kebijakan pendidikan di kampus saja (terkadang anarkis).
Sekarang saatnya mahasiswa harus memikirkan solusi atas permasalahan di dunia
pendidikan ini.
Namun, pertanyaan besar kembali hadir, bukankah
mahasiswa tidak mungkin membuat keputusan strategis mengenai sistem pendidikan?.
Bukankah mahasiswa pun tidak mungkin meningkatkan kualitas dosen dengan
mengadakan program sertifikasi mandiri, membangun infrastuktur secara mandiri,
dan hal-hal yang bersifat strategis lainnya. Lalu apa yang bisa mahasiswa
lakukan?.
Peran dan Fungsi Mahasiswa-lah yang
seharusnya dapat diterapkan sebagai solusi di bidang pendidikan ini. Dengan
mengamalkan Peran dan Fungsi Mahasiswa (PFM), mahasiswa bisa membuat suatu
pemikiran yang rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan seputar
pendidikan di bangsa ini. Buah pikiran tersebut dapat disumbangkan kepada pihak
terkait. Selain itu mahasiswa bisa melakukan kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pendidikan. Dengan demikian,
komunikasi antara mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah dapat berjalan dengan
baik dengan menghasilkan suatu solusi bagi kebuntuan permasalahan
pendidikan.
Mahasiswa
sebagai generasi intelektual hanya bisa dihargai eksistensinya dengan kualitas
intelektualnya pula, bukan dengan hal lainnya. Jika mahasiswa sudah tidak lagi
bisa mengandalkan kecemerlangan intelektualnya, maka kemampuan lain apa yang
bisa diberikan mahasiswa bagi negara ini. Oleh karena itu mahasiswa memiliki
kontribusi yang besar terhadap peningkatan mutu pendidikan bangsa. Beberapa hal
yang bisa dilakukan mahasiswa diantaranya:
a)
Pengembangan
Potensi Diri
Mahasiswa
mengembangkan potensi dirinya sebagai bentuk kesadaran akan hakikat pendidikan
yang mendasar. Mahasiswa diharapkan mampu menjual diri[8]
(menemukan bakat dan kemampuan pribadi dan meng-ejawantahkan menjadi
keunggulan- red) dan mampu mengembangkan kemampuan dirinya sehingga menjadi
sebuah sumber kekayaan intelektual yang akan berguna bagi kemajuan diri dan
lingkungannya.
b) Melakukan Kontrol Kebijakan Pemerintah
Sesuai dengan
peran dan fungsinya, mahasiswa wajib melakukan kontrol kebijakan pemerintah, khususnya
kebijakan mengenai penentuan arah dan karakteristik pendidikan bangsa. Sehingga
mampu menganalisa kebijakan dan melakukan control terhadapnya.
c)
Memenuhi Kebutuhan akan Perbaikan Sistem
Pendidikan Nasional
Mahasiswa
seharusnya mampu menjawab dan memberi solusi atas kebutuhan-kebutuhan akan
perbaikan sistem pendidikan di Indonesia. Hal yang paling sederhana adalah
dengan berprestasi di bidang masing-masing. Dengan itu, akan lahir banyak ahli
di banyak bidang. Ahli-ahli tersebut sekaligus sebagai pemberi solusi terhadap
permasalahan pendidikan di Indonesia.
Dengan menerapkan usaha-usaha
tersebut, diharapkan mahasiswa benar-benar berperan dalam perbaikan kualitas
pendidikan di Indonesia. Indonesia tidak butuh wacana untuk berubah. Indonesia
butuh pe-ubah, entitas yang bisa mengubah keterpurukan menjadi kemakmuran.
Mahasiswa harus mampu menjadi entitas pe-ubah itu, demi Indonesia yang lebih
baik dan bermartabat.
Revitalisai Peran
Strategis Mahasiswa dan Kampus (Menjawab Tantangan Realitas).
Sebagai anak bangsa kita
semua mendambakan terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang cerdas dan
berbahagia serta makmur melalui pendidikan nasional. Untuk mencapai hal
tersebut dibutuhkan sistem pendidikan yang meng-indonesia-kan.
Pentingnya pendidikan
tinggi seharusnya tidak hanya sekedar sadar atau reseptif akan kemajuan ilmu
dan teknologi masa depan, tetapi seharusnya pendidikan tinggi pun berfungsi
untuk membenahi tingkat pendidikan di bawahnya. Paradigma yang ada pada beberapa
bagian aktivitas para mahasiswa senantiasa dihabiskan dengan hanya belajar
dikelas, menerima dan mengerjakan tugas dan bermain. Begitulah
pemandangan suram yang sering kita lihat dalam dunia kampus. Barangkali,
apabila karena faktor internal (karena mahasiswa itu sendiri) maka bisa kita
maklumi. Akan tetapi apabila hal ini karena akibat sistem yang membuat mereka
seperti itu dalam kehidupan kampus, maka bukan waktunya lagi mahasiswa untuk
diam dan jalan ditempat. Mari kita cermati, akibat tepenjaranya gagasan-gagasan
mereka (mahasiswa) yang cerdas, maka tidak heran apabila kita melihat
berbagai organisasi mahasiswa hanya terlihat nampak hidup dalam kampus (action
in the box) bagaikan lembaga seminar, komunitas pembuat proposal, tempat
mengobrol dan lain sebagainya. Walaupun begitu, ditengah meningkatnya
atmosfer wabah ‘hedonisme’ yang
menjangkit para mahasiswa masih kita lihat dan menemukan sosok-sosok mahasiswa
idealis yang walaupun mereka kaum minoritas tapi peran mereka mayoritas dalam
memberikan solusi terhadap masalah yang ada, tentunya dengan kecerdasan
pembuatan kebijakan-kebijakan yang mereka buat.
Mahasiswa adalah agen of change (agen pe-ubah), agen pembelajar.
Kampus adalah sebuah sumber yang menjadi muara tempat menimba ilmu membutuhkan
dua bahan dasar utama; mahasiswa dan sistem
Menuju Gerakan Pemecahan Masalah Sosial
Mahasiswa dikampus yang
masih aktif kuliah disebut dalam tataran “experiment to learn” sementara
dalam kehidupan masyarakat, mahasiswa diajarkan “experiment to action”
dan ketika mereka benar-benar lulus dari kampus dan membaur dengan masyarakat
maka itulah saatnya “given the real contribution”, bukan waktunya experiment
lagi. Oleh karena itu mahasiswa dituntut untuk merubah wacana menjadi aksi
nyata yang diharapkan mampu memberikan jawaban atas keterpurukan bangsa (red).
Pendidikan diselenggarakan dalam rangka
membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Fidaus M.
Yunus (2004) menyampaikan keresahannya dalam buku “Pendidikan Berbasis
Realitas Sosial”, secara gamblang dia menuturkan mengenai fenomena
penyelenggaraan pendidikan yang hanya sekedar “transfer of knowledge“
sehingga kurang menyentuh aspek riil permasalahan masyarakat. Perbincangan
diseputar pendidikan adalah pada hakikatnya perbincangan mengenai manusia itu
sendiri, artinya perbincangan diri sendiri sebagai yang berhak mendapatkan
pendidikan.
Terdapat tiga “saham pendidikan” yang itu
menjadi bahan dasar miniatur pendidik formal, yaitu : a). mahasiswa sebagai
agen pembelajar, b). sistem sebagai rule and law, dan c). kampus yang
menjadi muara tempat mereka menimba ilmu. Sebagai sebuah bangunan, kampus
membutuhkan dua bahan dasar utama : akademisi (mahasiswa) dan sistem.
Apabila ketiga “saham pendidikan” ini (kampus, sistem dan mahasiswa)
telah bersinergi menuju kematangannya maka dengan penuh kebanggaan, mereka
(mahasiswa) harus di antarkan dengan karpet merah untuk melakukan misi
selanjutnya, yaitu “Ekspansi Akademik” agar keluar dari kampus dan menyatu
dengan realitas sosial., karena proses kebangkitan sebuah bangsa pertama-tama
harus dipandang sebagai sebuah peradaban yang besar dan kompleks yang tentunya
mencangkup masyarakat luas.
Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa
merupakan ‘amunisi mutakhir’ dalam pemberantasan problematika yang ada dalam
masyarakat terutama dalam lingkup pendidikannya. Mereka yang sudah tercerahkan
dari dunia kampus harus melakukan pencerahan kembali kepada masyarakat yang
mana dengan segala keterbatasannya, masyarakat tidak bisa mendapatkan
pencerahan itu dikampus. Dengan program pemberdayaan manusia diantaranya Kuliah
Kerja Mahasiswa (KKM), Praktek Pendidikan Lapangan (PPL) sebagai aset permanen,
dan banyak program lain yang dapat dilakukan mahasiswa dalam membantu
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Jika sudah demikian, mungkin tidak
terlalu memaksakan apabila kita mengatakan bahwa mahasiswa merupakan ikut andil
memegang saham kebangkitan!
Pada akhirnya, bagaimanapun keadaannya,
seperti tertuang dalam sebuah hadits : “inna fii yaadi subba(n) amrul ummah”,
ditangan para pemuda (mahasiswa) lah masa depan sebuah bangsa. Penulis yakin mahasiswa
bisa mewujudkan ini semua. YAKUSA (Yakin Usaha Sampai)
Daftar Referensi
Paulo Freire dkk,1999, Menggugat
Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis), Pustaka
Pelajar: Yogyakarta;
Rosyadi, Khoiron, 2004, Pendidikan
Profetik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta;
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945;
Yunus, Firdaus,M, 2004, Pendidikan
Berbasis Realita Sosial, Logung Pustaka: Yogyakarta
Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Prof. Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi”
Penerbit Kompas, Jakarta 2009.
[1] Pendidikan
Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad, MSc. Ed. Penerbit
Kompas, Jakarta 2009
[2] Preambule
UUD 1945
[3] Pendidikan Nasional “Strategi dan Tragedi” Prof. Winarno Surakhmad,
MSc. Ed. Penerbit Kompas, Jakarta 2009
[4] I b i d
[5] Fidaus M. Yunus
(2004) “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”,
[6] Chaedar Alwasih
(1993;23)
[7] Paulo Freire
(1970;119)
[8] (menemukan bakat dan kemampuan pribadi dan
meng-ejawantahkan menjadi keunggulan- red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar