Oleh :Asep Jurjani
Definisi dari Ahlak itu ada dua pendekatan yang dapat kita gunakan dalam
mendefinisikannya, yaitu linguistik (kebahasaan), dan pendekatan terminologik
(peristilahan).
Dari
segi kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar
(bentuk infinitif) dari kata aklaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan
timbangan (wazan) tsulasi majid af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), ath-thabi’ah (karakter,kelakuan, watak dasar), al-‘adat
(kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik, dan al-din
(agama)(Abudin nata 2010: 1).
Namun ada
juga pendapat yang menyatakan bahwa kata akhlak itu isim jamid atau isim
ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memilki akar kata, melainkan kata
tersebut sudah demikian adanya. Kata akhlak maupun kata khuluq terlepas
isim jamid atau bukan yang pasti kedua-duanya dijumpai pemakaiannya didalam
al-Quran dan hadis, sebagai berikut :
Dan
Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
(QS. Al-Qalam, 68: 4).
(agama Kami)
ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu
.(QS. al-Syu’ara, 26: 137).
Sedangkan penggunaan kata akhlak
sering digunakan dalam hadits Nabi dan yang paling populer yaitu:
Aku hanya diutus untuk
menyempurnakan keluhuran budi pekerti.(HR. Ahmad).
Ayat yang pertama disebut diatas menggunakan kata khuluq untuk
arti budi pekerti,
sedangkan ayat yang kedua khuluq untuk arti adat kebiasaan. Dengan
demikian kata
khlak/khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan,
perangai, muru’ah
atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at(Abudin Nata 2010: 2).
Demikianlah
definisi akhlak/ khuluq dari segi kebahasaan.
Definisi akhlak dari segi terminologik penulis mengambil berbagai pendapat
para pakar
dibidang ini. Ibnu miskawaih (w. 421 H/ 1030 M) yang selanjutnya dikeanl
ssebagai
pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu ssecara singkat mendefinisikan
bahwa
akhlak :
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan.(ibn miskawaih 1934: 40).
Sementara itu imam al-Gazali (1059-1111 M.) yang dikenal sebagai hujjatul
islam
(pemebela islam), karena kepaiawaiannya dalam membela islam dari berbagai
paham
yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari ibn miskawaih,
mengatakan,
akhlak adalah :
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang
minimbulkan macam-macam peruatana dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan (Imam al-ghazali jilid III : 56).
Dari definisi dua pakar diatas dapat
kita ambil subtansinya, terdapat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan
akhlak, yaitu:
·
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi
kepribadiannya.
·
Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan
yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
·
Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah
perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada
paksaan atau tekanan dari luar.
·
Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah per
buatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara.
Kelima, perbuatan
akhlak dilakukan karena ikhlas semata-mata karena allah, bukan karena aingin
dipuji orang lain.(Abudin Nata 2010: 6). Deimikianlah subtansi definisi akhlak
dari dua pakar diatas yang selanjutnya akan menjadi batasan dalam pembahasan
ini.
Secara garis besar akhlak dapat dibagi dua bagian,
yaitu: akhlak baik (al-akhlaq al-mahmudah), dan akhlak yang buruk (al-akhlak
al-madzmumah). Seperti apa contohnya akhlak yang baik itu? yang jelas
segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan al-quran, karena yang menjadi
patokan dasar benar salah dalam islam berinduk pada al-Quran. Contohnnya:
berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan, dan amanah. Seperti apa akhlak
yang buruk itu? jelas segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran,
contohnya: berbuat dzalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir, dan curang.
Itulah batasan akhlak baik dan akhlak buruk.
Optimalisasi pembinaan akhlak
Apa saja pembinaan akhlak yang harus dioptimalkan? Secara teoritis
macam-macam akhlak itu berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah
(bijaksana), syaja’ah (perwira/ kesatria), dan iffah (menjaga
diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul
dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan
ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql
(pemikiran) yang berpusat dikepala, ghadab (amarah) yang berpusat di
dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat diperut.(harun
nasution 1983: 17). Bagaimana mengoptimalkan potensi akal? Gunakan secara adil
maka akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah jika digunakan dengan adil maka
akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil
akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari peerbuatan maksiat.
Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil.
Mengoptimalkan pembinaan diri untuk bersiakap adal maka akhlak karimah akan
terbentuk dalam diri seseorang, karena adil itu lebih dekat dengan taqwa,
sebagimana firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Pengoptimalisasian pembinaan akhlak ini merupakan alternatif yang sangat
tepat untuk membentuk karakter bangsa ini. Islam telah membina dengan
baik supaya manusia menjadi manusia yang utuh, namun yang menjadi permasalahan
adalah aktualisasi dan optimalisasi yang relatif tidak dilakukan. Banyak
penceramah atau mubaligh yang menyampaikan tentang akhlak namun aktualisainya
yang sulit. Tanpa aksi hanya bicara susah untuk bisa mengoptimalkan pembinaan
akhlak karimah, jangan NATO (No Action Talk Only). Cara dakwah Rasulullah saw.,
menitik beratkan kepada aksi (da’wah bil hal).
Terbentuknya karakter bangsa, jelas harus diawali dengan terbentuknya
karakter keluarga, dan didalam keluarga lah individu-individu itu terbentuk
karakternya. Sebagaimana sabda Nabi “tidaklah dilahirkan manusia itu kecuali
dalam keadaan fitrah kemudian kedua orang tuanyalah yang meyahudikannya atau
menasonikannya…”(HR. Mutafaq ‘Alaih). Dalam hadits ini jelas kita menemukan
teori peran orang tua/lingkungan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter
seseorang. Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun orang tua dalam
arti luas yaitu lingkungan. Maka daripada itu pembinaan akhlak ini harus
dioptimalisasikan pada tiga lingkungan dimana seseorang berada yaitu:
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan masyarakat.:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar